Friday, August 23, 2019

DANGDUT; MEMATAHKAN IMAJI UTOPIS TENTANG MUSIK TANPA KELAS

DANGDUT; MEMATAHKAN IMAJI UTOPIS TENTANG MUSIK TANPA KELAS.

Kita telah mengetahui bahwa  musik dan peradaban memiliki kaitan kuat serupa ibu-anak, susu-keju. Musik merupakan konstruksi sosial yang tanpa kita sadari telah mengakar rumput sebagai bentuk  ekspresif manusia sejak dahulu hingga zaman modern kini. Tak dipungkiri, meski dalam banyak kebudayaan masyarakat yang heterogen telah menciptakan warna warni kebudayaan yang plural, musik secara sadar ataupun tidak turut andil besar dalam penciptaan kelas dalam masyarakat. Kita ambil contoh, musik Jazz yang tak terjamah oleh masyarakat pinggir kota, yang tinggal digubuk-gubuk kecil bawah jembatan layang. Dengan hal ini, penulis sepakat, musik semakin mempertegas garis khayal  tentang kelas antar masyarakat yang deskriminatif.
Musik klasik Eropa pertama masuk ke Indonesia secara resmi di abad ke-18 pada masa penjajahan Belanda. Namun, musik asing dan instrumen – instrumen klasik sudah diperkenalkan kepada para musisi Indonesia dari era okupasi Portugis. Walau musik ini telah masuk ke Indonesia, pada saat itu nada dan bunyi mereka hanya bisa dinikmati oleh segelintir bangsawan Belanda dan pejabat – pejabat kaya. Hal itu dikarenakan musik ini yang hanya dimainkan saat perkumpulan para bangsawan dan pejabat dalam klub – klub elit dan juga pesta eksklusif yang tidak dapat didatangi rakyat lainnya.
Namun lama kelamaan, di pertengahan tahun 1930an, industri musik dan film Indonesia mulai memainkan musik klasik dan mengadakan pentas orkestra yang walau pada saat itu jarang diduduki oleh orang Indonesia, bisa mulai dinikmati oleh rakyatnya. Baru di abad ke-19, musik klasik bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia saat dibangunnya “Schouwburg van Batavia”, yang sekarang kita kenal sebagai “Gedung Kesenian Jakarta”. Uniknya, di masa ini Indonesia juga pernah menjadi destinasi banyak musisi klasik asing seperti Lili Kraus, Leopold Godowsky juga Pablo Calais.
Lalu Dangdut, lahir sebagai penghancur imaji tentang musik tanpa kelas yang utopis. Pada dasarnya, dangdut juga merupakan campuran dari beberapa genre musik. Hal tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa dangdut merupakan campuran dan kombinasi dari musik-musik yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia.  Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang) musik India. Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah Tempo edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India. Sebutan ini selanjutnya diringkas menjadi "dangdut" saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk menyebut bentuk lagu Melayu yang terpengaruh oleh lagu India.  Musik dangdut banyak dipengaruhi oleh unsur - unsur kebudayaan asing seperti Cina Betawi, India, Arab, Barat dan Melayu. Namun ciri - ciri khusus dari suatu jenis musik tetap dibutuhkan untuk membuktikan identitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk menetapkan suatu terminologi atau pengertian tidaklah mudah. Karena itulah definisi dangdut masih selalu dicari-cari oleh para pakar musik dan hingga saat ini belum ada satupun definisi tentang dangdut yang diakui oleh seluruh lapisan masyarakat.     Musik ini mulai tumbuh dan berakar sekitar tahun 1940. Musik ini dipengaruhi oleh unsur musik India yang diambil dari alat musiknya yang bernama Tabla atau musik yang menggunakan gendang. Sedangkan cengkok dan harmonisasinya merujuk ke musik Arab. Akhirnya dipadukan oleh pengaruh musik barat yang mulai marak di akhir tahun 1960-an dengan menggunakan gitar listrik. Dangdut bisa dikatakan lebih matang sejak tahun 1970-an. Ciri khas musik dangdut diiringi oleh gendang suling dan joget yang gemulai.  Gaya musik dangdut sangat populer dan memiliki pengaruh sangat besar pada periode Orde Baru, khususnya tahun 1975-1981. Musik ini didominasi oleh denyut irama tarian (joget), dan ditujukan ke mereka yang berusia muda, yaitu para remaja. Ciri tersendiri dalam membawakan warna musik ini yaitu cengkoknya atau juga disebut blenggo. Dari lirik dan melodinya berkesan mendayu-dayu dengan cengkok-cengkok yang penuh lekukan memanjang pada akhir kalimatnya.  Di akhir tahun 1960-an, bermunculan berbagai kelompok musik yang mengadakan inovasi terhadap musik. Secara mendasar, mereka memasukkan beberapa elemen musik Melayu Deli dan keroncong tradisional dalam tarian mereka. Tema-tema lagu dangdut berupa kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Banyak yang terasa lugas, tanpa ditutupi, hingga bisa diterima khalayak dan akan terasa lebih dekat dengan masyarakat  Televisi Mengubah Stigma Music Dangdut?  Dangdut sebagai salah satu jenis musik memiliki keunikan tersendiri. Iramanya sanggup membuat semua orang berjoget tanpa perlu aturan tertentu untuk menikmatinya. Lirik-lirik dangdut penuh dengan nada ratapan nasib, kekecewaan, kekesalan, kebencian, harapan, tangisan dan cinta terhadap sesuatu.  Adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau disingkat dengan TPI yang pertama kali menyiarkan acara musik dangdut. Acara yang ditayangkan pada siang hari, berdurasi satu jam merupakan acara khusus musik dangdut. Target penonton adalah para pecinta musik dangdut yang tersebar di pelosok-pelosok desa.  Tahun 1995-an Indosiar salah satu tv swasta membuat program musik “Dangdut on The Campus” yang diputar pada hari Minggu pukul 10 pagi. Tayangan ini mengupas tentang pendapat para mahasiswa (dapat dibaca ‘jajak pendapat’) tentang musik dangdut dan mahasiswa diminta untuk ikut bergoyang dangdut. Acara ini nampaknya cukup sukses dan diikuti terus oleh kalangan mahasiswa sekaligus membuktikan bahwa tidak semua mahasiswa alergi terhadap musik dangdut.  Sosialisasi musik dangdut lewat layar kaca cukup berhasil, buktinya musik dangdut diterima oleh mahasiswa, musik dangdut diputar di kafe-kafe milik kaum elit, para pecinta musik klasik, jazz, rock dan lagu-lagu pop lainnya mau mendengar lirik-lirik dangdut.  Posisi dilematis di atas dirobohkan oleh pretensi bahwa dangdut tidaklah sah bila tidak diiringi oleh tarian seronok para penyanyinya. Sebagai salah satu genre musik, dangdut lebih mengutamakan tontonan visual daripada sajian audio.  Untuk itu menjadi penyanyi dangdut tidak cukup hanya dengan suara merdu, tapi juga harus memiliki tubuh yang erotis. Sebenarnya hal ini bisa menjadi kelebihan musik dangdut dibandingkan genre musik lainnya, karena seorang penyanyi musik dangdut dituntut menjaga kondisi fisiknya.  Tetapi sayang beberapa selebritis nasional membuat peluang ini dengan memaksakan diri menjadi penyanyi dangdut padahal kualitas suaranya kurang memumpuni . Sehingga malah memperkuat anggapan bahwa musik dangdut lebih memanjakan mata penontonnya daripada telinga.  Sosialisasi musik dangdut di tv dikemas dengan berbagai cara, dari penampilan penyanyinya dengan baju ‘sopan’ dan tertutup, goyangan yang dibatasi, dan membuang syair-syair yang erotis. Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kesan, kalau dangdut itu musik erotis dan merusak moral. Secara tidak langsung ini adalah usaha agar dangdut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.   MengembalikanPamor  Dalam buku berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music karya profesor dari Universitas Pittsburgh Andrew Weintraub disebutkan, dangdut punya tempat tersendiri di belantika musik nasional pada era 1970–1980. Padahal, rock dan pop pun juga sedang tumbuh.  Lalu permasalahannya, dengan banyaknya media yang menjadi atraktor sosialisasi mengapa dangdut tetap dipandang sebelah mata? Padahal sebagai sebuah karya musik, dangdut sangat kaya akan nilai harmoni dan berwawasan luas, karena punya “cita rasa” India, Arab, dan Melayu. Inilah yang mendasari BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) ingin sekali mengembalikan pamor dangdut sehingga bisa dinikmati lebih banyak lagi orang, terutama anak muda.

Sekian, Matur Suksma

Penulis; Aflah Adhi Masadu

7 comments: